Blogger Template by Blogcrowds

Dibangunkan Hujan

Soni Farid Maulana

Malam belum larut benar

Tidurku dibangunkan hujan. Ruang tengah

Yang bocor juga ruang tamu, malam itu

Tampak menjamu hujan. Dan hujan dengan



Riangnya menari, melebarkan sayap

Di lantai. Mainan kanak-kanak

Dari plastik tampak mengambang

Hujan makin lebat di luar. Dari ruang tamu

Masuk ke kamar menyapa kasur, menyapa



Kaki anakku, hingga bangun

Dan menangis, takut mendengar

Suara hujan yang mengirim irisan

Cahaya, membakar pohonan



Setelah puas dengan itu

Dibiarkannya diriku dirangkum

Keheningan yang meliuk

Dipirik detik jam



1996

Ladies Night, 1

Soni Farid Maulana

Duduk dalam diskotek, mendengarkan musik

Melihat orang jingkrak-jingkrak, lantai berkaca

Sungguh tak sedikit pun kudengar hujan jatuh

Dari hatimu. Tak kusangka sejauh itu meruntuhkan

Pohonan di luar senja. Bahkan tak sedetik pun

Terbayang dalam benak, seseorang, ya, seseorang



Meregang nyawa, tertimpa bangunan runtuh

Tertimpa perasaan duka teramat kelam

Hanya musik dan gerak orang jingkrak-jingkrak

Yang menyelusup ke dalam ingatan

Serat cahaya bersilangan mengiris asap rokok

Mengiris kesunyian dan kesepianku yang terdampar

Dalam ruangan ini, ruangan sarat musik, orang

Tertawa dan bercintaan dijaring temaram lampu



Lalu liuk tubuh ikanmu diam-diam melemparkan

Jiwaku pada sebuah ruang yang asing

Sunyi dan sendiri. Dan kau perawan atau tidak

Bukan urusanku. Ah, mengapa kau memandangku

Seperti itu? Sambil tersenyum kau menghampiriku

Yang duduk, lengket di kursi, tidak berbuat apa-apa

Semisal menjamah dirimu. Bahkan segelas bir

Masih utuh di meja, juga butiran kacang



1996

Pelayaran malam

Soni Farid Maulana

Tak kutemukan bangkai matahari

Di antara lorong bangunan bertingkat

Selain jejak bulan pada rimbun pepohonan

Sarat debu. Malam yang turun dari hati yang batu

Mengekalkan api sunyi berkobar dari rongga kuburan



Perahu waktu berlayar membawaku pergi

Ombak dan gelombang dipelihara ikan hiu

Seberkas cahaya obor di tangan

Kian kelap-kelip dimainkan angin malam



Sirip ikan hiu tampak ke permukaan

Wajah yang kelam dan dalam tegak di hadapan

Pelayaran kian jauh dari lepas pantai

Batu-batu karang yang runcing menjulang

Selebihnya lolongan bintang liar

Meledak di bawah akar rumputan



1994

Percakapan

Soni Farid Maulana

Likat lumpur tubuh perempuan

Adalah kesepian yang tiada henti dibentuk

Sang pematung menurut citranya sendiri

Ditatap dan dibetulkan letak lekuk tubuhnya

Yang diolahnya itu. Sebuah tungku perapian

Lalu dinyalakan. Disiapkan pembakaran



Kau bagiku adalah ruang yang kerap

Mengekalkan impian-impianku,

Ujarnya. Malam alangkah lindap dan sunyi

Hanya desir rumputan, desir pepohonan

Mungkin denting dedaunan dipetik angin

Cahaya bulan juga suara cengkrik

Menandai batu-batu dan menari dalam diam

Dalam huruf-huruf alam yang berkilauan

Di semesta terbuka



Kau adalah ruang bagi imajiku, tanah

Bagi tetumbuhan benihku yang kutanam tanpa

Nafsu, lanjut si pematung sambil

Menghaluskan arsiran palet pada celah berbukit

Di dinding bayang-bayang kelambu bergeseran

Di halaman cahaya lampu dan bulan tampak

Bersilangan, berayun-ayun di antara

Ranting yang dimainkan angin dan lolong

Anjing kegelapan di situ



1996

Syair Bunga Kangkung

Soni Farid Maulana

Sekuntum bunga kangkung yang ungu

Tumbuh di antara sampah plastik dan bangkai tikus

Rel kereta api membentang di pinggirnya

Cahaya matahari berkilatan dipantulkan air selokan

Diturih timah hitam. Sekuntum bunga kangkung

Yang mekar di situ adalah bahasa juga ayat-ayat sunyi

Yang kerap diwiridkan angin ke relung hati terdalam



Air selokan yang coklat kadang hijau muda

Mengalir ke hilir. Sesekali bangkai mujair

Timbul tenggelam, terantuk onggokan sampah, nyangkut

Di sela tetumbuhan kangkung

Di situ jiwaku mengembara ke sebuah ruang yang kelam

Di kedalaman tanah ada jerit akar tetumbuhan

Yang terbakar. Rangka besi berjulangan di pusat kota



Dialirkan air selokan ke hulu

Jiwaku berlayar menyisir rumah kertas *)

Kadang kulihat kupu-kupu terbang mengitar

Bunga kangkung. Ada anak kecil berlari

Menangkapnya. Ada ibu-ibu menyabit kangkung

Tampak sehat dan tak berpenyakit jantung



Aku mengerti inilah bahasa diisyaratkan angin

Juga sepasukan serangga yang berdengung

Adalah keindahan tersendiri yang bermekaran

Sepanjang rel kereta api. Sepanjang hidup

Berlembah dan berjurang kata-kata



1996

*) "Rumah Kertas", lakon teater karya Nano Riantiarno

Improvisasi dalam Hujan

Soni Farid Maulana

Pecahan air yang melenting dari atas genting

Saat hujan turun bikin komposisi dingin bersambung

Dingin dan angin bolak-balik menyisir pepohonan

Membaca jengkal demi jengkal jejak hujan yang hilang

Di titik pandang. Dengarlah suara gemuruh



Yang lambat dan pasti menyapu permukaan bumi

Suara itu adalah suara hujan menimpa beton

Yang nyaring berteriak mencari pepohonan

Dan dingin selalu bersambung dengan dingin

Bertumpuk-tumpuk bagai mentega melapisi kulit,

Daging, tulang juga sumsum. Kau dan aku



Saat itu basah dalam hujan yang bergemuruh

Memanggil pepohonan juga rumputan



Yang bertumbuhan di balik hari



1996

Surat Pendek

Sutan Iwan Soekri Munaf

Masih kurasakan dengus malam

dalam cahya matamu, Neng.

Berdendang dengan angin dan selendang mayang

tentang negeri yang terbakar dendam



“Harus diselamatkan, Neng. Harus diselamatkan!”



Suara sendiri menggaung dalam subuh

tentu engkau rasakan

langit hitam negeri ini akan luruh,

sebentar nanti langit perak gemerlapan



akan tumbuh, Neng, akan tumbuh...



Perlahan sekali, subuh kutembus

antara percakapan rumput-rumput dan angin

antara bayang-bayang dan selendang mayang di leherku

dan wajah bunda pertiwi dalam dada,

Langkahku semakin tertuju ke Gudang Peluru



Tentu engkau mengerti,

langkah demi langkah berbagi antara kau dan bunda pertiwi



Perlahan sekali, kawat berduri kutembus

antara kantuk serdadu-serdadu penjaga

dan nafsu ingin segera kembali padamu.



Dadaku semakin busung ketika menangkap senyummu mampir menggoda

dan bunda pertiwi bertanya-tanya dalam ruang dada

tentang arti gelora dalam perjalanan sejarah mendatang.



Perlahan sekali, merayap sunyi sambil kugenggam granat

dan menikmati harum rambutmu masih terasa dalam selendang mayang

berjalan menyusur pagi yang hampir tiba

: Adakah engkau di sana mendengarkan kisahku, Neng?



Detik demi detik: Waktu berjalan



Dalam sudut kepastian dengan granat di tangan panas kugenggam

dan picu telah dilepas. Ketika ini semilir bayangmu makin menggo­da

Ingin saja kukembali dari gudang peluru dan datang padamu

untuk mengajuk waktu-waktu tersisa



“Tidak, Neng.

Kita tebus kemerdekaan dengan menggadaikan cinta kita

pada ladang-ladang mesiu musuh!”



Dan kita tanam kemerdekaan dalam dada atas setiap jengkal negri ini

dan kita siram dengan darah dan keringat,

agar tumbuh, Neng, agar selamat...



Lambaian tanganmu, ketika melepasku pergi

perlahan terasa.

Mungkin juga seribu pemuda merasa

ketika berpisah: Mengosongkan Bandung!



Dan granat ini semakin mesra bercanda, Neng

sambil sayup-sayup membakar tanah selatan



“Selamat tinggal, Neng, semua ini untukmu!

Aku rela...”



Tanganku perlahan

tapi penuh kepastian

dan tenaga. Granat itu kulepas

Granat itu melayang di udara

Berhasil kulempar!

Granat itu lepas!



Granat itu melayang dengan anggunnya. Menembus subuh

menerkam sasaran!

Mataku tak pernah lupa

Granat itu meledak!



Bunga api di pinggir subuh di sisi pagi

di tepi Bandung Selatan

Mataku tak pernah lupa

Granat itu meledak!

Gudang peluru itu musnah! Gudang peluru itu musnah!

Bergelegar suaranya di Bandung Selatan.



Aku puas, Neng, aku puas sekali...



Tidakkah engkau lihat semua itu dalam senyumku?



Sekarang aku ingin segera kembali padamu, Neng

Ingin kutuliskan kisahku, ingin kuceritakan pengalamanku

dengan selendang mayangmu dalam wangi rambutmu

dengan seluruh getar jiwaku menatap untukmu, Neng



Dan langkahku semakin ringan, Neng, semakin ringan

berjalan menujumu. Dan, O, siapa yang terbaring itu?

Wajahnya hancur, tubuhnya luluh tak dapat dikenal

Darah berhamburan di sana-sini

Tapi aku kenal selendang itu, bukankah selendangmu, Neng

Bukankah selendangmu yang kupakai, yang melingkar

di leher tubuh itu?



Langkahku semakin ringan dan semakin kasat

Sekali terbang dan sekali terbenam



Dari balik mentari

Kusimpan salam untukmu, Neng



Bandung, 1983

Postingan Lama