Soni Farid Maulana
Sekuntum bunga kangkung yang ungu
Tumbuh di antara sampah plastik dan bangkai tikus
Rel kereta api membentang di pinggirnya
Cahaya matahari berkilatan dipantulkan air selokan
Diturih timah hitam. Sekuntum bunga kangkung
Yang mekar di situ adalah bahasa juga ayat-ayat sunyi
Yang kerap diwiridkan angin ke relung hati terdalam
Air selokan yang coklat kadang hijau muda
Mengalir ke hilir. Sesekali bangkai mujair
Timbul tenggelam, terantuk onggokan sampah, nyangkut
Di sela tetumbuhan kangkung
Di situ jiwaku mengembara ke sebuah ruang yang kelam
Di kedalaman tanah ada jerit akar tetumbuhan
Yang terbakar. Rangka besi berjulangan di pusat kota
Dialirkan air selokan ke hulu
Jiwaku berlayar menyisir rumah kertas *)
Kadang kulihat kupu-kupu terbang mengitar
Bunga kangkung. Ada anak kecil berlari
Menangkapnya. Ada ibu-ibu menyabit kangkung
Tampak sehat dan tak berpenyakit jantung
Aku mengerti inilah bahasa diisyaratkan angin
Juga sepasukan serangga yang berdengung
Adalah keindahan tersendiri yang bermekaran
Sepanjang rel kereta api. Sepanjang hidup
Berlembah dan berjurang kata-kata
1996
*) "Rumah Kertas", lakon teater karya Nano Riantiarno
Label: sajak, Soni Farid Maulana, syair, syair puisi
0 Comments:
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda